Tuesday, 19 February 2013

Ketika Remaja Kecanduan Seks

Survei yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional di 12 kota besar Indonesia pada 2010 mengungkapkan; 62,7% remaja pernah melakukan hubungan seks bebas. Lebih mencengangkan lagi, 21% di antaranya bahkan telah melakukan aborsi. Apa yang bisa dilakukan orang tua untuk menghadapi persoalan ini?          “Walaupun mungkin sampling-nya kurang representatif, artinya kalau diambil secara acak bisa jadi angkanya tidak setinggi itu, tetapi survei ini dilakukan pemerintah. Saya percaya (survei ini) tidak sembarangan. Melihat angkanya, tentu sangat memprihatinkan,” komentar Maya Trisiswati, Manajer Klinik Ramah Remaja sekaligus Kepala Divisi Akses dan Layanan Persatuan Keluarga Besar Indonesia (PKBI) DKI Jakarta.
Hitungan Menit
Dalam Kasus lain, cerita Maya, ada seorang remaja yang datang ingin melakukan tes HIV, dengan alasan pernah melakukan tranfusi darah. Ia merasa beresiko. Namun setelah lama berbincang, dara itu akhirnya mengaku sudah melakukan hubungan intim dan berganti-ganti pasangan, sehingga takut terinfeksi HIV.
Setelah itu, ada pasangan ibu-anak yang juga datang berkonsultasi, karena si anak yang masih SMA, hamil. Ceritanya, si anak yang suka coba-coba (apa?) sering mendapat kesempatan berduaan dengan pacarnya, lantas kebablasan melakukan hubungan seks. Namun karena malu pada teman-teman dan tetangga, ibu-anak itu sepakat tak ingin mempertahankan kandungan.
“Tapi ada juga remaja yang berasal dari keluarga santun tiba-tiba datang ke sini dan mengaku takut hamil karena pahanya dipegang oleh pacarnya. Kami tentu harus berhati-hati dalam menjelaskan dan meyakinkan bahwa apa yang terjadi dengannya itu tidak berakibat kehamilan, tetapi bila berlanjut dengan aktivitas lain, yakni hubungan seks, ia bisa hamil, karena tahapan perilaku seks itu hitungannya bisa menit. Misalnya dari kissing, necking, petting sampai intercourse, itu tergantung situasi yang mendukung. Dalam 10 atau 20 menit bisa terjadi hubungan seks, sementara keterampilan untuk cepat menyadari bahwa ia bisa terjeumus dalam hubungan seks, tak banyak dimiliki remaja,” lanjut Maya.
Hati-hati Gangguan Seksual
Tak sedikit penelitian yang membuktikan manfaat hubungan seksual pada kesehatan fisik dan psikis seseorang. Namun sebaliknya, jika dilakukan pada saat yang kurang tepat, seperti misalnya oleh remaja, bisa jadi berakibat buruk. Berikut di antaranya:

  1. Kehamilan tidak diinginkan.
  2. Infeksi seksual menular.
  3. HIV/AIDS.
  4. Gangguan psikologis.
  5. Gangguan seks pada saat dewasa.
      Seorang remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah, kata dokter Maya, cenderung bisa mengalami beberapa gangguan seksual seperti vaginismus (kekejangan otot vagina yang mengakibatkan penolakan terhadap rangsangan atau aktivitas seksual), dispareneu (nyeri saat berhubungan seks), un orgasm (tidak bisa orgasme pada saat berhubungan seks), vrigiditas (tidak punya gairah seks).
Hal itu karena secara psikologis, seseorang yang melakukan hubungan seks sebelum waktunya, menyimpan rasa bersalah yang terus-menerus ia bawa hingga menikah. Selain itu, dampak sosial juga mengancam, terutama bagi yang hamil sebelum waktunya.
“Di antaranya cita-cita pupus dan masa depan jadi suram karena kesempatan untuk melanjutkan sekolah atau mendapat pekerjaan lebih kecil. Angka perceraian yang tinggi juga bisa menjadi akibat dari pernikahan yang terpaksa segera dilangsungkan karena si wanita sudah hamil. Selain itu, semakin muda ibu mengandung, kecenderungan anak yang dilahirkan itu berat badannya rendah, bahkan cacat mental dan fisik, lebih tinggi daripada usia ideal di mana seseorang sudah siap untuk hamil,” kata Maya.
So, karena lebih banyak dampak buruknya, orang tua dan lingkungan sekitar memang harus memberi bekal pada anak agar tidak terbawa dalam arus seks bebas dan terjebak dalam situasi sulit. Orang tua harus bisa menjadi sahabat yang mendorong anak bagaimana berpacaran yang sehat. 


sumber : http://tabloidwanitaindonesia.net/

0 comments:

Post a Comment