Internet in the home

Internet bukan merupakan sesuatu yang mewah lagi. Banyak diantara anda yang memiliki koneksi internet di rumah. Tapi tidak ada yang bisa memanfaatkan itu dengan baik untuk dunia pengetauan

Data Server

Data server yang terdapat banyak di internetlah yang banyak membantu kita menemukan sesuatu dengan cara cepat dan akurat misalnya adalah dara center milik google.

Koneksi Internet

Kabel UTP merupakan salah satu media yang di gunakan untuk menghubungkan komputer kita ke jaringan lokal maupun jaringan internet yang tanpa batas ini.

Workstation

Workstation adalah kita atau bisa di sebut sebagai pengguna. Kita hanya tinggal mengetik apa yang kita cari maka kita akan menemukannya selama itu ada di dalam server data.

Jaringan komputer

Semua komputer yang terhubung ke dalam jaringan internet dapat saling bertukar data dan berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain dengan biaya yang cukup murah.

Showing posts with label ips. Show all posts
Showing posts with label ips. Show all posts

Friday, 17 May 2013

Kesenian Bantengan

Asal mula terjadinya kesenian bantengan adalah sebagai salah satu bentuk usaha mempertahankan cerita sejarah tanah Jawa pada zaman dahulu. Tepatnya saat zaman perang merebut kemerdekaan. Banteng adalah simbol PNI (Partai Nasional Indonesia) yang diketuai oleh Soekarno.
Pada masa itu, masyarakat Jawa rata-rata memelihara sapi karena dianggap sangat bermanfaat hampir di semua sendi kehidupan. Semua bagian tubuh sapi dapat dimanfaatkan, mulai dari tenaga, daging, kulit, dan bahkan kotorannya sekalipun. Adapun simbol banteng dari PNI mewakili/menandakan bentuk sapi yang kuat. Dengan demikian, simbol banteng ini berkaitan erat dengan pertanian yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat Jawa.
Kesenian Bantengan di Gubugklakah-Ngadas sudah ada sejak 13 Agustus 1979 tetapi baru secara resmi dicatatkan sebagai Organisasi Kesenian dan Seniman yang bernama “Banthengan” di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2002.
Bantengan adalah salah satu kesenian yang paling digemari di Ngadas dan Gubugklakah karena sangat menghibur. Kesenian Bantengan mirip dengan jaran kepang(kuda lumping) dalam hal kerasukan makhluk halus. Namun tidak seperti kuda lumping, bantengan dimainkan dengan tiruan banteng tiga dimensi (semacam barongsai) terbuat dari rotan dengan kepala banteng yang bisa dilepas dari badannya. Tiruan banteng ini biasa dikenal dengan istilah gambar. Jumlah gambar di desa Ngadas semula hanya ada satu, namun tahun 2010 sudah bertambah menjadi empat buah. Masing-masing tiruan banteng ditutupi oleh gronjong(semacam kain berwarna hitam) dan dimasuki dua orang. Bantengan ini biasa gebyar (dimainkan) pada hari jumat legi sekitar pukul 20.00 sampai tengah malam (24.00) atau bahkan dini hari (01.00).
Di desa, kondisi kerasukan ini dikenal dengan istilah kalap. Bedanya, roh yang merasuki orang-orang pada saat Bantengan dapat berupa roh hewan atau roh para leluhur desa. Penyembuhan orang-orang yang kalap dilakukan oleh seorang sesepuh bernama Pak Untung. Beliau adalah sesepuh Bantengan yang dipercaya bisa berhubungan dengan para roh/makhluk halus. Beliau mengatakan bahwa roh apapun bisa masuk ke raga (yang disebutnya sebagai kurungan) para pemain Bantengan. Bantengan di desa Gubugklakah-Ngadas melibatkan roh halus yang didatangkan dari berbagai penjuru. Menurut keterangan  Pak Untung, para roh yang datang tidak hanya dari sekitar desa. Ada juga roh-roh yang datang dari Gunung Semeru, Gunung Kelud, Gunung Arjuna, Segara Kidul (Laut Selatan), dan dari Mata Air Widodaren. Biasanya roh-roh halus ini “diberitahu (diundang)” terlebih dahulu oleh Pak Untung bila gambar-nya hendak gebyar. Para roh yang datang dipercaya oleh warga merupakan para roh sing Mbaurekso (yang menjaga dan berkuasa) di desa. Selain itu oleh warga setempat, orang-orang yang sedang kalap dipercaya mampu memberi kesembuhan pada orang sakit atau memberikan petunjuk tentang keadaan yang sedang terjadi atau yang akan terjadi di desa.
Bantengan biasa dimainkan oleh sekitar 30 orang. Namun, jumlah orang yang kalap tidak bisa diprediksi. Terkadang, penonton juga diajak main oleh orang yang sedang kalap sehingga mereka pun ikut kalap. Namun tak perlu khawatir saat menonton karena yang akan diajak main hanya orang yang secara mental siap dan mau. Orang yang pikiran atau mentalnya menolak tidak akan diajak.
Seperti halnya kuda lumping, para pemain yang kalap biasanya suka makan macam-macam seperti gelas, dupa, kembang, menyan, dan bahkan terkadang ada juga yang makan pelepah pisang. Para pemain yang kalap mengaku bahwa mereka merasa seperti sedang bermimpi, seolah melakukan segala hal tetapi tidak terasa nyata. Makan, minum, atau mengamuk pun tidak terasa sama sekali. Setelah kembali sadar, biasanya mereka terheran-heran sendiri. Kalaupun mereka tadinya sempat makan yang “macam-macam”, mulut mereka tidak terasa sakit ataupun pahit. Menurut salah satu pemain Banthengan, jika saat memainkan Banthengan tidak kalap maka setelah selesau main badannya akan terasa sangat letih dan pegal-pegal.
Dana yang dibutuhkan untuk gebyar tidaklah sedikit karena harga alat dan sesajinya saja bisa menghabiskan dana lebih dari Rp 300.000,00. Adapun sesaji yang dimaksud berisi minyak cendana, minyak melati, menyan, candu (semacam menyan), telur, kelapa, pisang raja, dupa, bunga tujuh rupa, dan masih banyak lagi. Bila ada orang yang ingin nanggap (menyuruh gebyar) diharuskan menyiapkan sesaji lengkap, mengurusi makan dan rokok para pemainnya, serta mengisi kas yang nantinya akan dipakai untuk pengecatan ulang gambar atau perbaikan kerangka banteng. Pak Untung mengungkapkan bahwa pihak Bantengan Gubugklakah-Ngadas tidak bisa mematok harga untuk tanggapan saat hajatan karena menurutnya, inti dari kesenian adalah memberikan kesenangan pada semua orang. Selama tidak merugi, tidak boleh mendahului kehendak orang lain untuk memberi.

Sumber Informasi : http://desawisata.net

Kolam Segaran Trowulan Mojokerto

A.  Deskripsi tentang Seputar Kolam Segaran
Kolam Segaran
Kolam Segaran

 Kolam segaran pertama kali ditemukan oleh seoran Belanda, Ir. Marc Lain Pont bekerjasama dengan Bupati Mojokerto pertama yaitu Kromojoyo pada tahun 1926. Sejak ditemukan hingga saat ini, telah beberapa kali dilakukan pemugaran yaitu pada tahun 1966, 1974, dan 1984. Bagi Kabupaten Mojokerto Kolam Segaran merupakan salah satu situs peninggalan Kerajaan Majapahit, yang dituahkan dan dibanggakan masyarakat Trowulan khususnya dan Mojokerto pada umumnya. Nama Kolam Segaran berasal dari bahasa Jawa 'segara' yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut.Kolam ini memiliki panjang 375 meter, lebar 175 meter, tebal tepian 1,6 meter dengan kedalaman 2,88 meter. Sebagai pembatas, kolam ini menggunakan konstruksi batu bata. Dan uniknya, batu bata tersebut hanya ditata sedemikian rupa tanpa perekat dan hanya digosok – gosokkan satu sama lain. Saluran air masuk ke kolam ada di bagian tenggara. Sedangkan di sebelah selatan sudut timur laut dinding sisi luar terdapat 2 kolam kecil berhimpitan, sementara di sebelah barat sudut timur terdapat saluran air menembus sisi utara. Di bagian tenggara terdapat saluran air masuk ke kolam dan saluran air keluar di bagian barat laut. Sumber air kolam berasal dari Balong Bunder dan Balong Dowo yang berada di sebelah selatan dan barat daya kolam. Dan pintu masuknya terletak di sebelah barat, dengan bentuk tangga batu kuno. Selain dari dua sumber air tersebut, air dalam kolam Segaran juga berasal dari air hujan. Oleh karena itu, kolam tersebut selalu dipenuhi air dengan ketinggian 1,5 hingga 2 meter selama musim penghujan, namun konon kolam ini meskipun terjadi hujan lebat tapi kolam sgaran ini tak pernah banjir atau meluap dan sebaliknya meskipun kola mini di dalam masa kemarau yang panjang tetap saja debit airnya masih ada dan tak pernah kering. Letak Kolam Segaran sekitar 500 meter arah selatan jalan raya Mojokerto – Jombang, dan sekitar 5 meter dari Pusat Purbakala di Mojokerto. Dengan ukuran yang sangat besar itu, kolam yang menjadi salah satu simbol kejayaan Kerajaan Majapahit ini, diakui beberapa ahli anthropologi nasional sebagai kolam kuno terbesar di Indonesia. 0Kisah mistis keberadaan kolam ini, diawali saat pemugaran pertama dengan penemuan bandul jaring, kail pancing dari emas, dan sebuah piring berbahan emas dalam kondisi 60%. Semua penemuan itu tersurat di salah satu dinding Museum Trowulan. Posisinya di sebelah kanan batu Surya Majapahit.
Kolam SegaranKonon, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengadakan pesta besar karena kedatangan duta dari Tiongkok, angkatan perang negeri Tartar. Raja menyuguhkan hidangan dengan perkakas dari emas, mulai nampan, piring sampai sendok. Para tamu puas dan menilai, Majapahit memang negara besar yang patur dihormati. Setelah pesta usai, sebelum para tamu pulang, Hayam Wuruk ingin memperlihatkan kekayaan Kerajaan yang terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi. Semua perkakas dari emas itu dibuang ke Kolam Segaran, tempat dimana pesta itu dilangsungkan. Karena benda-benda itu terkubur begitu lama, keberadaannya dikuasai makhluk gaib. Untuk mengangkat harta karun itu bukan persoalan gampang karena harus berhadapan dengan lelembut yang menguasai benda-benda tersebut. Tapi konon menurut cerita dari juru kunci pak Kuntoro di kolam segaran tersebut pada dasar  kolam dulunya dipasangkan jarring, gunanya untuk mengangkat kembali barang-barang yang telah dibuang di kolam segaran tersebut,
B. Fungsi Kolam Segaran

            Kolam segaran  ini bpada masa Kerajaan Majapahit berfungsi sebagai waduk dan penampung air, yang merupakan wujud kemampuan Kerajaan Majapahit akan teknologi bangunan basah, para ahli memperkirakan kolam ini sama dengan kata ”Telaga” yang disebut dalam kitab Negarakertagama.
Selain itu, ada cerita yang menyebutkan bahwa kolam tersebut sering dimanfaatkan para Maharaja Majapahit untuk bercengkerama dengan permaisuri dan para selir kedatonnya. Kolam tersebut juga digunakan Maharaja Hayam Wuruk untuk menjamu tamu agung dari Kerajaan Tiongkok. Fungsi yang lain yaitu untuk tempat bersantai para putri – putri raja, seperti yang telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama di pupuh ke 38 yakni
Keindahan Bureng: telaga bergumpal air jernih. Kebirubiruan,   ditengah: candi  karang  bermekala. Tepinya rumah  berderet,  penuh  pelbagai  ragam  bunga.  Tujuan  para  pelancong   penyerap sari kesenangan)
    kolam Segaran juga difungsikan sebagai tempat penggemblengan para ksatria laut Majapahit. Namun pada masa sekarang kolam ini juga sering digunakan sebagai tempat berwisata untuk para masyarakat sekitar, selain itu kolam ini juga digunakan sebagai tempat untuk menyimpan cadangan air warga setempat dan kolam ini juga berfungsi sebagai tempat irigasi untuk mengairi sawah sawah warga di Trowulan. ini menyimpulkan bahwa, pembuatan kolam Segaran memiliki prioritas utama penunjang perekonomian rakyat, khususnya dibidang pertanian. Itu terbukti dari fungsinya saat ini sebagai waduk pengairan untuk sawah sawah masyarakat sekitarnya, selain itu dalam hari-hari besar keagamaan para pemeluk agama Hindu-budha tempat ini juga biasa digunakan untuk upacara larung saji masyarakat bali yang sengaja melakukan ritual di kolam segaran ini.

C. Hubungan Terhadap penduduk sekitar yang beragama islam

Menurut salah seorang warga sekitar yang saya temui beliau bernama pak parto beliau bekerja sebagai pencari ikan di kolam segaran Majapahit, beliau menerangkan bahwa tempat ini juga sering digunakan oleh warga sekitar yang mayoritas beragama islam sebagai tempat diadakan upacara Desa yang biasanya di sebut Ruah Desa, tempat ini pun juga biasanya digunakan sebagai tempat meminta ijin kepada para leluhur jika salah seorang warga mau mengadakan acara pernikahan maupun acara selamatan lainnya, karena kolam segaran ini masih dipercaya mempunyai andil besar terhadap mata pencaharian warga setempat disamping digunakan sebagai pengairan sawah warga( irigasi) juga digunakan sebagai tempat membudidayakan ikan, begitu kata pak parto yang sekaligus beliau juga pernah menemukan seekor ikan yang memiliki keanehan yang lain dari ikan pada umumnya, yaitu ikan ini pada kepalanya berbentuk seperti seekor buaya sedangkan badanya menyerupai badan ikan normal pada umumnya,.

sumber informasi http://sejarah-andychand.blogspot.com

Air Terjun Coban Canggu Di Pacet Jawa Timur, Mojokerto

Air Terjun Coban Cangu

Nggak tau sejak kapan saya begitu menyukai pegunungan dan air terjun. Udara pegununungan yang sejuk, pepohonan yang menghijau, apalagi ada air terjunnya membuat saya merasa nyaman. Beda sekali dengan pantai yang udaranya cukup panas serta matahari yang sangat menyengat. Meskipun begitu sesekali boleh juga berwisata bahari, tapi lain kali saja. Hehe..

Tempat-tempat wisata di Trawas sebenarnya nggak cuma Candi Jolotundo dan Air Terjun Dlundung saja, ada beberapa tempat wisata lain yang bisa dikunjungi. Tapi rasanya saya kurang berminat ke tempat-tempat tersebut. Karena itu saya lanjut saja ke Pacet untuk melihat keindahan Air Terjun Coban Canggu. Jarak antara Trawas dan Pacet juga nggak terlalu jauh. Kalo lagi jalan-jalan ke Trawas dan masih ada waktu, nggak ada salahnya untuk mampir sebentar ke Pacet, begitu pula sebaliknya.


Air Terjun Coban Cangu

Tempat wisata yang cukup dikenal di Pacet adalah Air Terjun Coban Canggu (yang bener Coban Canggu atau Cangu sih?). Ada juga sih wisata pemandian air panas yang nggak jauh dari air terjun, sayangnya saya juga kurang berminat untuk kesana. Pokoknya air terjun dulu, yang lain kapan-kapan aja. Hehe..

Untuk mencapai Air Terjun Coban Canggu, pengunjung harus berjalan menuruni cukup banyak anak tangga karena lokasi parkir memang agak di atas. Udah lama nggak olahraga, kerjaannya cuma makan sama tidur doang jadi agak ngos-ngosan. Padahal jaraknya nggak teralu jauh. Gimana kalo naik Gunung Lawu nih, bisa pingsan kali yah. Xixixi..

Air Terjun Coban Cangu

Di tepi jalan menuju air terjun tepatnya setelah pintu masuk ada beberapa kios yang menjual makanan dan minuman. Ada juga anak-anak muda, mungkin warga sekitar yang ngamen di jalan setapak tersebut. Kalo anak tangganya udah dilewati semua jalanan udah landai kok. Di sebalah kiri ada sawah yang menghijau, bener-bener khas pedesaan. Tidak jauh dari sawah itu air terjun samar-samar mulai keliatan di balik pepohonan. Sampe deket air terjun ada pengamen lagi. Wihh..

Sepertinya saya datang di waktu yang kurang tepat nih. Sekeliling air terjun udah rame bener, jauh lebih rame daripada Air Terjun Dlundung. Mungkin sekitar 90% yang datang membawa pasangannya. Pacaran masal nih.. Hahaha.. Debit air di Coban Canggu jelas lebih deras daripada di Dlundung. Coban Canggu juga memiliki ketinggian yang lebih tinggi. Sedikit mendekat ke air terjun sudah cukup membuat baju basah karena terkena percikan air yang lembut dan dingin. Niat mengambil foto air terjun dari dekatpun batal, lensa kamera basah terus..

Air Terjun Coban Cangu

Dekat air terjun ada juga flying fox, bayarnya murah cuma 10.000 kalo nggak salah. Cuma flying foxnya nggak tinggi dan jarak luncurnya juga pendek. Nggak ada istimewanya sih untuk flying foxnya, lebih cocok untuk anak-anak. Overall Air Terjun Coban Canggu cukup bagus dan nggak sulit untuk mencapainya. Lebih bagus lagi kalo kesini nggak di hari minggu atau libur nasional, biar nggak liat pacaran masal dan benar-benar bisa menikmati keindahan air terjun ini.

sumber informasi http://www.wijanarko.net

Reco Lanang di Desa Kemloko Kecamatan Trawas 40 km dari Kota Mojokerto.

Tugu di Depan Pintu Gerbang Reco Lanang
Reco Lanang atau alih bahasanya Arca Laki-laki terletak di kaki sebuah gunung di Trawas. Perjalanan ke Reco Lanang tidaklah sulit. Dari jalan raya Trawas menuju lokasi hanyalah sekitar 200 meter saja. Reco Lanang adalah sebuah arca Budha. Ketika saya berkunjung ke situs ini banyak orang-orang yang beragama Budha yang melakukan ritual. Sebagian besar di antaranya adalah etnis keturunan Cina.
Perjalanan masuk ke situs reco lanang akan dimulai dari pos penjagaan. Ada dua juru kunci yang bekerja bergantian di situs. Hari ini keduanya masuk bersamaan di lokasi. satu menjaga pos sedang satunya sedang keluar. Di jalan masuk yang menghubungkan situs dan juga hutan ada seorang yang sedang sibuk membersikan jalanan sambil membuat pondasi bangunan di sisi barat tepatnya utara batu besar. Pembangunan pondasi dimaksudkan untuk membuat tempat cangkru'an di sana. Sungguh niat yang mulia. Mudah-mudahan diganjar pula dengan kemuliaan. Sebab ketika saya berkunjung ke sana memang tidak didapati tempat yang enak untuk memanjakan diri. Tidak ada tempat berteduh, tidak ada pula tempat yang digunakan untuk duduk-duduk bersantai. Ketika kita naik dari pos, jalanan hanya setapak dan itupun mendaki melakui beberapa anak tangga. Saya tidak tau persis berapa jumlah anak tangga menuju lokasi situs. Saya tidak menghitungnya karena akan menambah pekerjaan saja. Pohon-pohon besar ada di kanan kirinya. Pohon Randu, Mahoni dan sejumlah pohon yang saya tidak tahu namanya. Sebagian di antara pohon-pohon tersebut tumbuh di atas bebatuan besar. Kemungkinan besar bebatuan inilah yang dijadikan bahan untuk pembuatan arca situs. pemandangan semakin hijau ketika di atara pepohonan tersebut berjajar rapi tanaman pakis.
Patung Gajah di Penghujung Tangga
 Saat tangga terakhir kita tapaki, maka kita akan disambut dua arca gajah di kanan kiri tangga. Saya tidak mengerti apa maksud pemasangan arca gajah ini. namun yang saya pahami bahwa arca ini adalah arca yang tergolong baru dibuat. Pahatan yang halus dan belum ada kesan aus meyakinkan saya bahwa arca ini adalah arca baru. Lebih yakin lagi kalau saya perhatikan jenis batuannya, batuan arca ini berbesa sekali dengan batuan yang digunakan untuk arca lanang. Di arca gajah ini cenderung keras, sedangkan di Reco Lanang sepertinya agak keropos dan berlubang. Teksturnya juga tidak keras seperti arca gajah ini. warnanya lebih terang. Sedang arca gajah ini gelap. Saya lanjutkan perjalanan, Walaupun saya sangat lelah setelah mendaki dari bawah sambil menggendong salah seorang putra saya yang tertidur pulas. Ada persaan kasihan kalau saya bangunkan mengingat tidurnya belumlah lama. Sehingga saya biarkan saja dia tertidur dalam dekapan saya.


Bagian Depan Arca Ganesha
Bagian belakang Arca Ganesha
Ketika sudah berada di situs, maka kita disambut lagi oleh dua arca. Sepengetahuan saya kedua arca kecil ini adalah arca ganesha. Manusa berkepala Gajah. Saya banyak mendapati arca ini di Museum Trowulan. Arca ini melambangkan dewa pengetahuan. Salah satu perguruan tinggi yang ada di Malang menggunakan arca ini sebagai lambang dari PT tersebut. Namun ada yang aneh menurut saya yang awam akan hal-hal beginian. bagian depan arca ini memang berbentuk Ganesha, namun pada sisi belakang ada bentuk lainnya yang menyerupai Kala dengan lidah menjulur atau melet. Apa maksudnya saya tidak tahu. Di Situs ini tidak saya jumpai sedikitpun keterangan yang menjelaskan tentang situs. jadi untuk yang lebih paham hal ini bolehlah kita urun informasi dengan membagikannya di blog ini.
Nah, kalau di bawah ini adalah foto reco lanang tersebut. Tidak usa saya komentari sudah paham sendiri. Di sana ada dua orang yang sedang melakukan ritual berdasarkan keyakinannya. Saya hanya diam saja melihat dan mengambil gambar. Saya tidak enak kalau harus mengganggu kekhususkan  ibadah mereka.
Reco Lanang
Orang beibadah di depan Arca

Komplek Makam Troloyo

( Makam Komunitas Muslim Majapahit )Lokasi : Di Dukuh Sidodadi, Desa Sentonorejo, kecamatan Trowulan. Kira-kira 750 m di sebelah selatan Candi Kedaton dan Sumur Upas.

Sangat toleransinya Majapahit terhadap agama Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.

Petilasan Walisongo
Menurut cerita rakyat, Troloyo merupakan tempat peristrirahatan bagi kaum niagawan muslim dalam rangka menyebarkan agama Islam kepada Prabu Brawijaya V beserta para pengikutnya. Di hutan Troloyo tersebut kemudian dibuat petilasan untuk menandai peristiwa itu. Tralaya berasal dari kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah lapang tempat pembuangan bangkai (mayat), sedangkan berarti rusak/mati/kiamat. Kata setra dan pralaya disingkat menjadai ralaya.

Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat itu, tempat ini banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur.

Ketenaran Makam Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang semakin menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini.

Situs Troloyo merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.

Dahulu komplek makam Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan Pakis yang terletak lebih kurang 2 Km di sebelah selatannya. Peneliti pertama kali P.J. Veth, hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku Java II yang diterbitkan dalam tahun 1878. Kemudian L.C. Damais seorang sarjana berkebangsaan Perancis,hasil penelitiannya dibukukan dalam “Etudes Javanaises I. Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam BEFEO (Bulletin de Ecole francaise D’extrement-Orient). Tome XLVII Fas. 2. 1957. Menurut Damais angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo yang tertua berasal dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI.

Kepurbakalaan yang ada di Troloyo adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah ibukota Majapahit. Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan dalam bukunya Ying Yai - Sing Lan, yang ditulis pada tahun 1416 M. Dalam buku The Malay Annals of Semarang and Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan bahwa utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit kebanyakan muslim. Sebelum sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab Hanafi membentuk masyarakat muslim di Kukang (Palembang), barulah kemudian mereka bermukim di tempat lain termasuk wilayah kerajaan Majapahit.

Pada masa pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya (Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina dengan orang-orang pribumi.

Adanya situs makam ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, antara lain P.J. Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo meliputi kurun waktu antara 1368–1611 M.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di kompleks Makam Troloyo, yaitu Zainudin. Namun nisan dengan nama tersebut tidak lagi diketahui tempatnya, sedangkan nama-nama tokoh yang disebutkan di makam ini berasal dari kepercayaan masyarakat.

Kesimpulannya bahwa ketika Majapahit masih berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal di sekitar ibu kota. Ada dua buah kelompok atau komplek pemakaman : sebuah komplek terletak di bagian depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di bagian belakang (barat laut). Komplek makam yang terletak di sebuah bagian depan berturut-turut sebagai berikut :
  1. Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Suryo, nisan kakinya berangka tahun dalam huruf Jawa Kuno 1397 Saka (= 1457 M) ada tulisan arab dan lambang ‘surya Majapahit”.
  2. Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo, berangka tahun 1349 Saka (1427 M) bertuliskan Arab yang tidak lengkap dan lambang surya.
  3. Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo angka tahunnya ada yang membaca 1377 Saka tapi ada yang membaca 1389 Saka, hampir sama dengan atasnya.
  4. Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong, angka tahunnya sudah aus, pembacaan ada dua kemungkinan : tahun 1319 Saka atau tahun 1329 Saka serta terpahat tulisan Arab kutipan dari surah Ali Imran 182 (menurut Damais 1850).
  5. Makam yang dikenal sebagai Sabdo palon, berangka tahun 1302 Saka dengan pahatan tulisan Arab kutipan surah Ali Imran ayat 18.
  6. Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih, batu nisan kakinya tidak berhias. Dahulu pada nisan kepala bagian luar menurut Damais berisi angka tahun 1298 Saka.
  7. Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan. Menurut Damais pada nisan kepala dahulu terdapat angka tahun 1340 Saka pada bagian luar dan tulisan Arab yang diambil dari hadist Qudsi terpahat pada bagian dalamnya.

Sebagian dari nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama unsur-unsur pendatang (Islam) nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara Hindu dan Islam. Sedangkan apabila diperhatikan adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah thoyyibah dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan nampaknya masih pemula dalam mengenal Islam.

Dengan banyaknya peziarah yang datang ke kompleks makam ini mempunyai nilai positif bagi masyarakat sekitar situs. Dampak posistif itu dapat dilihat dari segi ekonomi, di mana pendapatan masyarakat sekitar menjadi bertambah.

Hal ini menjadi perhatian dari pemerintah daerah untuk membangun sarana dan prasarana yang ditujukan untuk menarik pengunjung. Namun demikian terdapat juga sisi negatifnya, yaitu pembangunan yang mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian.Dari keadaan sekarang yang ada di situs Makam Troloyo diketahui bahwa sarana-sarana bangunan yang ada menyimpang dari penataan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Pasal 27 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa

pemugaran sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak, serta nilai sejarahnya. Pengrusakan situs Troloyo dalam arti luas telah merubah bentuk secara keseluruhan, antara lain denah halaman makam, serta benda cagar budayanya itu sendiri. Denah halaman yang dimaksud adalah tambahan bangunan baru berbentuk lorong beratap, serta jirat dan nisan diganti bahan keramik baru warna putih sehingga sangat terlihat tidak asli. Perubahan tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian benda cagar budaya.

Kasus pengembangan Makam Troloyo ini dapat menjadi pelajaran bagi kita, agar dikelak kemudian hari tidak terjadi lagi kasus-kasus serupa pada situs yang lain, mengingat dewasa ini semakin maraknya perhatian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap situs-situs kepurbakalaan yang bersifat living monument

Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di bagian depan (tenggara) dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian depan diantaranya: Kelompok makam petilasan Wali Sanga, Kemudian di sebelah barat daya dikenali dengan sebutan Syech Mulana Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di bagian belakang meliputi: Bangunan cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu Anjasmara Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo, Gajah permodo, Naya Genggong, Sabdo palon, Emban Kinasih dan Polo Putro

Sumber informasi : http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com

Tuesday, 23 April 2013

Tarawangsa, “Alat Musik Kahyangan” dari Tatar Parahyangan


Tarawangsa (Tengah) saat dimainkan secara ensemble. (poto dari: paseban.com)
Tarawangsa merupakan salah satu alat musik tradisional masyarakat Sunda. Keberadaan tarawangsa telah disebut-sebut dalam naskah-naskah Sunda Kuno seperti Jatiraga dan Sewa ka Darma (saya saya belum menemukan transliterasi naskah ini) yang ditulis pada masa Kerajaan Sunda-Pajajaran masih berdiri tegak.
Kini, tradisi seni tarawangsa masih hidup di beberapa daerah Jawa Barat walau hanya bisa dihitungnya dengan jari. Sebutlah Rancakalong di Sumedang, Cipatujah di Tasikmalaya, dan di daerah-daerah tertentu di Bandung dan Banten.
Tarawangsa dan Jentreng
Tarawangsa merupakan alat musik kayu yang terdiri atas dua bagian, tangkai penampang dawai dan badan (body) berbentuk kotak. Dawainya terdiri atas dua senar yang dimainkan oleh lengan kiri, sementara penggeseknya dimainkan oleh tangan kanan. Adapun senar yang satu dan paling dekat dengan pemain dimainkan dengan cara digesek, sedangkan senar satu lagi dipetik dengan jari telunjuk. Kayu yangdipergunakan untuk membuat tarawangsa adalah kayu kemiri, jengkol, dadap, dan kenanga.
Tarawangsa tak berdiri sendiri. Ia merupakan ensemble yang ditemani oleh alat musik lain bernamajentreng yang berbentuk seperti kecapi. Jentreng terbuat dari kayu dan terdiri atas tujuh dawai dan dimainkan dengan dipetik.
Laras yang dipergunakan dalam memainkan tarawangsa adalah pelog, disesuaikan dengan steman jentreng yang pelog.
Asal Mula Tarawangsa
Sukar sekali melacak sejak kapan alat musik tarawangsa lahir di Tanah Pasundan, karena ketiadaan sumber tertulis mengenai hal tersebut. Namun, kita masih diuntungkan oleh sejumlah tradisi lisan yang hidup hingga kini yang mengisahkan asal mula tarawangsa, salah satunya tradisi lisan masyarakat Rancakalong, Sumedang. Menurut versi lisan Rancakalong, seni tarawangsa telah ada sejak masa Kerajaan Mataram Kuno, sekitar abad ke-8 atau ke-9 Masehi.
Dikisahkan bahwa pada saat itu di Tatar Sunda belum ada bibit padi (sawah). Syahdan, sekelompok pemain musik jalanan alias pengamen dari Tatar Sunda, dengan membawa berbagai alat tatabeuhanseperti celempungrengkong, dan tarawangsa, tiba di wilayah Mataram (antara Jawa Tengah dan Yogyakarta kini), sebuah negara dengan wilayah yang menghasilkan beras melimpah. Dari benak para pengamen ini lahir sebuah gagasan konyol namun revolusioner: mencuri benih padi. Para pengamen pun mencoba menyembunyikan benih padi ke dalam celempung, alat musik pukul dari bambu. Namun, upaya penyembunyian ini gagal. Tak kehilangan akal, para pengamen ini mencoba memasukkan benih ke dalamrengkong, yakni pikulan untuk padi dari bambu (awi gombong) yang diikat dengan tali ijuk dan jika dibawa menimbulkan bunyi menyerupai suara burung rangkong (sejenis angsa) yang dihasilkan dari gesekan tali ijuk dengan batang pikulan tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi usaha para pengamen ini gagal. Mereka terus mencari akal dan kemudian, seorang dari mereka yang bernama Eyang Sinapel atau Eyang Wisya Mangkunegara berhasil membawa benih padi dengan cara menyembunyikan di lubang tarawangsa. Usaha si eyang ini berhasil, mereka pun lalu pulang ke kampung halamannya di Rancakalong dengan membawa benih padi asal Mataram itu. Konon, sejak itu Tanah Sunda menjadi salah satu penghasil beras utama, selain Jawa.
Kisah bersifat legenda di atas, selain mengisahkan hal ikhwal keberadaan tarawangsa pada awal sekali, juga memberitakan bahwa masyarakat Sunda pada masa tersebut (abad ke-8 dan ke-9) belum mengenal jenis padi sawah, melainkan hanya padi huma. Artinya, mereka belum mengenal leuit atau lumbung padi yang merupakan budaya dari bercocok padi di sawah, dikarenakan masyarakat Sunda pada umumnya hidup di dataran tinggi dan pegunungan yang cocok untuk digarap sebagai lahan perhumaan yang tidak membutuhkan sistem irigasi. Jadi, pada masa itu masyarakat Sunda membawa padi hasil panen mereka langsung ke rumah dengan bantuan rangkong, belum ke lumbung padi. Budaya ladang dari masyarakat Sunda pun terlihat dari alat-alat musik yang mayoritas terbuat dari bambu.
Tentu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai sejarah lahirnya tarawangsa. Bukan suatu kebetulan jika wilayah-wilayah lain di Jawa Barat memiliki tradisi lisan serupa dengan versi yang belum tentu sama persis.
Persembahan kepada Sanghyang Sri
Tarawangsa diperagakan saat digelarnya perayaan hasil panen dan diperuntukkan kepada Sanghyang Pohaci Sri, makhluk langit penguasa padi. Dalam perayaan ini, para penari yang terdiri atas sejumlah lelaki dan perempuan, turun ke gelanggang dengan diiringi ensemble tarawangsa dan jentreng.  Mereka menari dengan pola tak beraturan, karena memang musik tarawangsa ini tidak menuntut tarian dengan pola tertentu. Prosesi tarawangsa dipimpin oleh saehu atau sesepuh adat, di mana sepasang patung lelaki dan perempuan perwujudan Aki Balangantrang dan Nini Pohaci, wajib  selalu dihadirkan.
Alat Musik Kahyangan
Kata tarawangsa sudah disebut-sebut dalam sejumlah naskah berbahasa dan beraksara Sunda Kuno seperti Jatiniskala (Jatiraga). Dalam naskah-naskah ini disebutkan bahwa alat tarawangsa diperdengarkan di alam kahyangan. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan teks Jatiniskala berikut:
Yata nira nu mangih / ning bumi kumirincing / Rari sada tatabeuhhan / ri aci bemiring kumirinycing / kumarenycang kumarenycong / rari ti nu rari aci kwaswar(r)anan / hya(ng) gending (gending) narawangsa / kaamsuh ku deneng pawana (Maka dialah yang menemukan, dunia gemerincing. Ramai suara bunyi-bunyian, dalam pusat dunia gemerincing, kumarencyang-kumarenycong, lebih ramai daripada pusat keramaian di bawah, gamelan keramat dibunyikan diiringi tarawangsa, tersebar oleh hembusan angin).
Selain tarawangsa, ada sejumlah atal musik lain yang disebutkan oleh sejumlah naskah Sunda Kuno seperti Para Putra Rama dan RawanaSri Ajnyana, Bujangga Manik. Mereka adalah goong (gong) kuning,goong jawagending (gendang), sarunay (seruling), gangsa (gamelan perunggu, canang), caning,  karinding,  dan kacapi, di mana sebagian alat musik tersebut, terutama alat pukul (tatabeuhan), sering diperdengarkan di alam kasorgaan dan kahyangan.

Sumber Rujukan
Noorduyn, J. dan A. Teeuw. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.
“Jentreng Tarawangsa: Menari untuk Dewi Padi”. Diunduh 22 Oktober 2011. Dari http://berita.liputan6.com/read/331218/jentreng-tarawangsa-menari-untuk-dewi-padi

sumber informasi --> http://wacananusantara.org

Makna Nama Satwa pada Orang Tempo Doeloe


Relief Candi Prambanan (Foto dari: chekaharmen.wordpress.com)
Orang tua kita menamai kita dengan nama-nama berupa kata sifat yang indah dan terpuji, dewa-dewi, nama pahlawan, ksatria panji, tokoh wayang , para nabi, sahabat Nabi, dari kata Sansekerta, Arab, Eropa. Bagainama dengan orang-orang tua di Nusantara dulu menamai putra-putri mereka? Tentunya sama dengan orang-orang tua kita masa kini, yakni dengan kata-kata terpuji, dengan nama-nama pahlawan di zamannya, nama dewa-dewi Hindu-Buddha (bagi yang terkena pengaruhnya), dan nama-nama binatang.
Ya, bagi mereka yang hidup di zaman dulu, nama-nama hewan atau satwa sama berartinya dengan nama-nama tokoh pewayangan (nama-nama bunga dipakai oleh kaum perempuan). Ambillah nama-nama tokoh sejarah atau pun tokoh sastra seperti Kebo Anabrang, Mundinglaya, Hayam Wuruk, Gajah Mada, Kidang Pananjung, Manjangandara, Mahesa Rubuh, Lembu Tal, Lutung Kasarung, Kuda Wangi, Banyakcatra, dan Ciung Wanara. Dari sini kita mendapati nama-nama binatang seperti kebo danmunding (keduanya berarti kerbau), hayam (ayam), gajah, kidang dan menjangan (keduanya berarti kijang), mahesa dan lembu (keduanya berarti sapi), lutung (kera), kuda, banyak (angsa), dan ciung(burung beo). Belum lagi nama orang yang ada unsur singa—juga nama kerajaan seperti Singasari—seperti Singaperbangsa.
Nama-nama di atas memang sebagian bahasa Sansekerta (seperti mahesa dan banyak) namun sebagian lagi merupakan kosakata asli bangsa Nusantara (seperti hayam, kuda, lutung, kebo, munding). Kita tak tahu kata-kata apa yang dipakai sebelum wilayah Nusantara terpengaruh Indianisasi. Yang jelas, mereka mengambil nama-nama binatang bagi nama anak-anak mereka setelah ada pengaruh indianisasi (walau tak menutup kemungkinan sebelumnya telah memakai nama-nama hewan).
Dalam tradisi Hindu-Buddha, hewan-hewan tertentu memiliki makna istimewa. Lembu misalnya, merupakan kendaraan atau wahana Dewa Siwa. Angsa adalah kendaraan Dewa Brahma, seperti gadura bagi Dewa Wisnu. Gajah tak lain wahana Dewa Iswara atau Isora, dan macan adalah wahanaMaheswara.  Sedangkan kerbau adalah kendaraan Dewa Rudra, dan singa wahana Dewa Sangkara. Bagaimana dengan binatang mitologis seperti naga yang juga banyak disebutkan dalam sastra dan dongeng zaman dulu?  Naga, binatang penguasa alam bawah tanah dan hidup di bawah permukaan bumi, tak lain merupakan kendaraan Mahadewa. Ada pun kera dan burung terdapat pada kayon atau gegunungan dalam pertunjukan wayang, menggelantung dan bertengger di atas dahan nan rimbun; burung raksasa atau wilmana pun merupakan wahana Sambhu ( jangan dilupakan bahwa Hanoman dan pasukan kera pimpinan Sugriwa dari epos Ramayana pun “manusia kera”).
Dari penjelasan tadi pengetahuan kita mulai terbuka dan memahami bahwa hewan-hewan yang disebutkan merupakan makhluk istimewa yang dianggap suci dan sakral. Selain sebagai kendaraan dewa-dewa, hewan-hewan bersangkutan termasuk “raja” di habitatnya dan hidup di hutan belantara. Dalam pandangan dunia manusia dulu, hutan  merupakan wilayah suci sekaligus angker, yang hening dan juga rimbun. Ia adalah wilayah ambang, wilayah “perantara” bagi manusia di zamannya dalam berhubungan dengan Dunia Atas yang tak terjangkau. Di hutan pula biasanya salah seorang pahlawan cerita dibuang, diasingkan, dan di sini pula ia menemukan panutan hati, ditolong oleh kesatria gagah nan baik hati yang kadang berwujud binatang seperti Lutung Kasarung. Singkatnya, hutan dan hewan merupakan hal yang menjembatani dunia manusia yang serba terbatas dengan Dunia Atas yang tidak terbatas.
Dalam tradisi kemiliteran masa kuno, nama-nama hewan digunakan sebagai nama siasat atau formasi pasukan dalam peperangan.  Misalnya, garuda wyūha atau susunan pasukan berbentuk garuda (wyuhaberarti “susunan pasukan”) dan gajendramatta atau gajamatta wyūha atau susunan pasukan berbentuk gajah mengamuk. Begitu pula gerakan beladiri seperti silat yang kebanyakan jurusnya memakai nama-nama hewan.
Jelas bagi kita kini bahwa orang-orang tua Nusantara dulu menamai anak-anak mereka  dengan penuh pertimbangan. Penamaan adalah doa dan harapan, bahwa kelak keturunan mereka, idealnya, bisa menjadi “tunggangan” orang banyak dalam saling berbagi kebajikan dalam kehidupan yang saling membutuhkan. Dan bisa jadi, sebelum bersinggungan dengan budaya India, mereka telah menamai keturunannya dengan nama-nama hewan sebagai perlambangan kegagahan dan kejantanan kaum pria.
 sumber informasi ---> http://wacananusantara.org