Friday 17 May 2013

Kesenian Bantengan

Asal mula terjadinya kesenian bantengan adalah sebagai salah satu bentuk usaha mempertahankan cerita sejarah tanah Jawa pada zaman dahulu. Tepatnya saat zaman perang merebut kemerdekaan. Banteng adalah simbol PNI (Partai Nasional Indonesia) yang diketuai oleh Soekarno.
Pada masa itu, masyarakat Jawa rata-rata memelihara sapi karena dianggap sangat bermanfaat hampir di semua sendi kehidupan. Semua bagian tubuh sapi dapat dimanfaatkan, mulai dari tenaga, daging, kulit, dan bahkan kotorannya sekalipun. Adapun simbol banteng dari PNI mewakili/menandakan bentuk sapi yang kuat. Dengan demikian, simbol banteng ini berkaitan erat dengan pertanian yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat Jawa.
Kesenian Bantengan di Gubugklakah-Ngadas sudah ada sejak 13 Agustus 1979 tetapi baru secara resmi dicatatkan sebagai Organisasi Kesenian dan Seniman yang bernama “Banthengan” di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2002.
Bantengan adalah salah satu kesenian yang paling digemari di Ngadas dan Gubugklakah karena sangat menghibur. Kesenian Bantengan mirip dengan jaran kepang(kuda lumping) dalam hal kerasukan makhluk halus. Namun tidak seperti kuda lumping, bantengan dimainkan dengan tiruan banteng tiga dimensi (semacam barongsai) terbuat dari rotan dengan kepala banteng yang bisa dilepas dari badannya. Tiruan banteng ini biasa dikenal dengan istilah gambar. Jumlah gambar di desa Ngadas semula hanya ada satu, namun tahun 2010 sudah bertambah menjadi empat buah. Masing-masing tiruan banteng ditutupi oleh gronjong(semacam kain berwarna hitam) dan dimasuki dua orang. Bantengan ini biasa gebyar (dimainkan) pada hari jumat legi sekitar pukul 20.00 sampai tengah malam (24.00) atau bahkan dini hari (01.00).
Di desa, kondisi kerasukan ini dikenal dengan istilah kalap. Bedanya, roh yang merasuki orang-orang pada saat Bantengan dapat berupa roh hewan atau roh para leluhur desa. Penyembuhan orang-orang yang kalap dilakukan oleh seorang sesepuh bernama Pak Untung. Beliau adalah sesepuh Bantengan yang dipercaya bisa berhubungan dengan para roh/makhluk halus. Beliau mengatakan bahwa roh apapun bisa masuk ke raga (yang disebutnya sebagai kurungan) para pemain Bantengan. Bantengan di desa Gubugklakah-Ngadas melibatkan roh halus yang didatangkan dari berbagai penjuru. Menurut keterangan  Pak Untung, para roh yang datang tidak hanya dari sekitar desa. Ada juga roh-roh yang datang dari Gunung Semeru, Gunung Kelud, Gunung Arjuna, Segara Kidul (Laut Selatan), dan dari Mata Air Widodaren. Biasanya roh-roh halus ini “diberitahu (diundang)” terlebih dahulu oleh Pak Untung bila gambar-nya hendak gebyar. Para roh yang datang dipercaya oleh warga merupakan para roh sing Mbaurekso (yang menjaga dan berkuasa) di desa. Selain itu oleh warga setempat, orang-orang yang sedang kalap dipercaya mampu memberi kesembuhan pada orang sakit atau memberikan petunjuk tentang keadaan yang sedang terjadi atau yang akan terjadi di desa.
Bantengan biasa dimainkan oleh sekitar 30 orang. Namun, jumlah orang yang kalap tidak bisa diprediksi. Terkadang, penonton juga diajak main oleh orang yang sedang kalap sehingga mereka pun ikut kalap. Namun tak perlu khawatir saat menonton karena yang akan diajak main hanya orang yang secara mental siap dan mau. Orang yang pikiran atau mentalnya menolak tidak akan diajak.
Seperti halnya kuda lumping, para pemain yang kalap biasanya suka makan macam-macam seperti gelas, dupa, kembang, menyan, dan bahkan terkadang ada juga yang makan pelepah pisang. Para pemain yang kalap mengaku bahwa mereka merasa seperti sedang bermimpi, seolah melakukan segala hal tetapi tidak terasa nyata. Makan, minum, atau mengamuk pun tidak terasa sama sekali. Setelah kembali sadar, biasanya mereka terheran-heran sendiri. Kalaupun mereka tadinya sempat makan yang “macam-macam”, mulut mereka tidak terasa sakit ataupun pahit. Menurut salah satu pemain Banthengan, jika saat memainkan Banthengan tidak kalap maka setelah selesau main badannya akan terasa sangat letih dan pegal-pegal.
Dana yang dibutuhkan untuk gebyar tidaklah sedikit karena harga alat dan sesajinya saja bisa menghabiskan dana lebih dari Rp 300.000,00. Adapun sesaji yang dimaksud berisi minyak cendana, minyak melati, menyan, candu (semacam menyan), telur, kelapa, pisang raja, dupa, bunga tujuh rupa, dan masih banyak lagi. Bila ada orang yang ingin nanggap (menyuruh gebyar) diharuskan menyiapkan sesaji lengkap, mengurusi makan dan rokok para pemainnya, serta mengisi kas yang nantinya akan dipakai untuk pengecatan ulang gambar atau perbaikan kerangka banteng. Pak Untung mengungkapkan bahwa pihak Bantengan Gubugklakah-Ngadas tidak bisa mematok harga untuk tanggapan saat hajatan karena menurutnya, inti dari kesenian adalah memberikan kesenangan pada semua orang. Selama tidak merugi, tidak boleh mendahului kehendak orang lain untuk memberi.

Sumber Informasi : http://desawisata.net

0 comments:

Post a Comment