Asal mula terjadinya kesenian bantengan adalah sebagai salah satu
bentuk usaha mempertahankan cerita sejarah tanah Jawa pada zaman dahulu.
Tepatnya saat zaman perang merebut kemerdekaan. Banteng adalah simbol
PNI (Partai Nasional Indonesia) yang diketuai oleh Soekarno.
Pada masa itu, masyarakat Jawa rata-rata memelihara sapi karena
dianggap sangat bermanfaat hampir di semua sendi kehidupan. Semua bagian
tubuh sapi dapat dimanfaatkan, mulai dari tenaga, daging, kulit, dan
bahkan kotorannya sekalipun. Adapun simbol banteng dari PNI
mewakili/menandakan bentuk sapi yang kuat. Dengan demikian, simbol
banteng ini berkaitan erat dengan pertanian yang merupakan mata
pencaharian utama masyarakat Jawa.
Kesenian Bantengan di Gubugklakah-Ngadas sudah ada sejak 13 Agustus
1979 tetapi baru secara resmi dicatatkan sebagai Organisasi Kesenian dan
Seniman yang bernama “Banthengan” di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
pada tahun 2002.
Bantengan adalah salah satu kesenian yang paling digemari di Ngadas
dan Gubugklakah karena sangat menghibur. Kesenian Bantengan mirip
dengan
jaran kepang(kuda lumping)
dalam hal kerasukan
makhluk halus. Namun tidak seperti kuda lumping, bantengan dimainkan
dengan tiruan banteng tiga dimensi (semacam barongsai) terbuat dari
rotan dengan kepala banteng yang bisa dilepas dari badannya. Tiruan
banteng ini biasa dikenal dengan istilah
gambar. Jumlah
gambar di
desa Ngadas semula hanya ada satu, namun tahun 2010 sudah bertambah
menjadi empat buah. Masing-masing tiruan banteng ditutupi oleh
gronjong(semacam kain berwarna hitam) dan dimasuki dua orang. Bantengan ini biasa
gebyar (dimainkan) pada hari jumat legi sekitar pukul 20.00 sampai tengah malam (24.00) atau bahkan dini hari (01.00).
Di desa, kondisi kerasukan ini dikenal dengan istilah
kalap. Bedanya,
roh yang merasuki orang-orang pada saat Bantengan dapat berupa roh
hewan atau roh para leluhur desa. Penyembuhan orang-orang yang
kalap dilakukan
oleh seorang sesepuh bernama Pak Untung. Beliau adalah sesepuh
Bantengan yang dipercaya bisa berhubungan dengan para roh/makhluk halus.
Beliau mengatakan bahwa roh apapun bisa masuk ke raga (yang disebutnya
sebagai
kurungan) para pemain Bantengan. Bantengan di desa
Gubugklakah-Ngadas melibatkan roh halus yang didatangkan dari berbagai
penjuru. Menurut keterangan Pak Untung, para roh yang datang tidak
hanya dari sekitar desa. Ada juga roh-roh yang datang dari Gunung
Semeru, Gunung Kelud, Gunung Arjuna, Segara Kidul (Laut Selatan), dan
dari Mata Air Widodaren. Biasanya roh-roh halus ini “diberitahu
(diundang)” terlebih dahulu oleh Pak Untung bila
gambar-nya hendak
gebyar. Para roh yang datang dipercaya oleh warga merupakan para roh
sing Mbaurekso (yang
menjaga dan berkuasa) di desa. Selain itu oleh warga setempat,
orang-orang yang sedang kalap dipercaya mampu memberi kesembuhan pada
orang sakit atau memberikan petunjuk tentang keadaan yang sedang terjadi
atau yang akan terjadi di desa.
Bantengan biasa dimainkan oleh sekitar 30 orang. Namun, jumlah orang yang
kalap tidak bisa diprediksi. Terkadang, penonton juga diajak
main oleh orang yang sedang
kalap sehingga mereka pun ikut
kalap. Namun tak perlu khawatir saat menonton karena yang akan diajak
main hanya orang yang secara mental siap dan mau. Orang yang pikiran atau mentalnya menolak tidak akan diajak
.
Seperti halnya kuda lumping, para pemain yang kalap biasanya suka
makan macam-macam seperti gelas, dupa, kembang, menyan, dan bahkan
terkadang ada juga yang makan pelepah pisang. Para pemain yang kalap
mengaku bahwa mereka merasa seperti sedang bermimpi, seolah melakukan
segala hal tetapi tidak terasa nyata. Makan, minum, atau mengamuk pun
tidak terasa sama sekali. Setelah kembali sadar, biasanya mereka
terheran-heran sendiri. Kalaupun mereka tadinya sempat makan yang
“macam-macam”, mulut mereka tidak terasa sakit ataupun pahit. Menurut
salah satu pemain Banthengan, jika saat memainkan Banthengan tidak kalap
maka setelah selesau main badannya akan terasa sangat letih dan
pegal-pegal.
Dana yang dibutuhkan untuk
gebyar tidaklah sedikit karena
harga alat dan sesajinya saja bisa menghabiskan dana lebih dari Rp
300.000,00. Adapun sesaji yang dimaksud berisi minyak cendana, minyak
melati, menyan, candu (semacam menyan), telur, kelapa, pisang raja,
dupa, bunga tujuh rupa, dan masih banyak lagi. Bila ada orang yang
ingin
nanggap (menyuruh
gebyar) diharuskan menyiapkan
sesaji lengkap, mengurusi makan dan rokok para pemainnya, serta mengisi
kas yang nantinya akan dipakai untuk pengecatan ulang
gambar atau
perbaikan kerangka banteng. Pak Untung mengungkapkan bahwa pihak
Bantengan Gubugklakah-Ngadas tidak bisa mematok harga untuk
tanggapan saat
hajatan karena menurutnya, inti dari kesenian adalah memberikan
kesenangan pada semua orang. Selama tidak merugi, tidak boleh mendahului
kehendak orang lain untuk memberi.
Sumber Informasi :
http://desawisata.net