- MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU
Pengertian manusia sebagai makhluk individu mengarah
kepada karakteristik khas yang dimiliki manusia sebagai makhluk hidup
yang membedakan dirinya dengan makhluk hidup yang lain, serta dengan
manusia yang lain. Karakter khas yang dimiliki setiap manusia, dan
berbeda dengan manusia yang lain ini meiliputi fisik, kepribadian, yaitu
sifat khas yang dimiliki seseorang, sifat, sikap, temperamen, watak
(karakter), tipe, dan minat. Dalam hal tertentu, setiap manusia adalah
sama seperti semua manusia yang lain, sama seperti beberapa manusia lain
dan berbeda dengan manusia lain. Bilamana diperhatikan, dalam kondisi
normal kelengkapan fisik dan fungsinya dari setiap manusia adalah sama,
diantaranya setiap manusia mempunyai hidung, mulut, telinga, rambut,
mata dan sebagainya. Namun diketahui pula bahwa hidung, mulut, telinga,
rambut, mata setiap manusia berbeda, walaupun yang bersangkutan adalah
bersaudara kandung atau saudara kembar sekalipun. Demikian halnya dengan
kepribadian, ditinjau dari segi fisik, masih sering ditemukan adanya
kesamaan antar manusia, tetapi dari kepribadian, tidak ada manusia yang
mempunyai kepribadian sama, walaupun yang bersangkutan dilahirkan
kembar. Keberbedaan yang dimiliki oleh setiap manusia, menjadi kekhasan
yang melekat pada diri manusia yang bersangkutan, dan menjadi identitas
dari yang bersangkutan, serta yang membedakan dengan manusia yang
lainnya. Karakter yang khas ini mempengaruhi kebutuhan manusia dan
cara-cara yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Kharakteristik khas ini dimiliki oleh setiap manusia, tetapi tiap
manusia memiliki kekhasan yang berbeda. Misalnya saja, setiap manusia
membutuhkan makanan, tetapi tidak setiap manusia memerlukan nasi untuk
memenuhi kebutuhan makanannya, karena ada manusia makanannya dari roti,
sagu, dan jagung, bahkan dari umbi-umbian. Demikian halnya dengan
jumlahnya. Coba perhatikan teman-teman kita, apakah ada perbedaan
banyaknya makan? Inilah yang menyebabkan manusia itu dikategorikan
sebagai makluk individu. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai
keinginan, kebutuhan, kebiasaan, cita-cita yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya, walaupun mereka saudara kandung, bertempat tinggal
di lokasi yang sama, dan tidur atau sekolah di tempat yang sama. Oleh
karena itu, mereka mempunyai kebiasaan, keinginan, kebutuhan, serta
sikap dan perilaku yang berbeda dengan kita dalam suatu hal, tetapi sama
dalam hal yang lain.
- MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL
Manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga
disebut sebagai makhluk sosial. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan
kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan
manusia yang lain, selanjutnya interaksi ini berbentuk kelompok.
Kemampuan dan kebiasaan manusia berkelompok ini disebut juga dengan zoon
politicon. Istilah manusia sebagi zoon politicon pertama kali
dikemukakan oleh Aristoteles yang artinya manusia sebagai binatang
politik. Manusia sebagai insan politik atau dalam istilah yang lebih
populer manusia sebagi zoon politicon, mengandung makna bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk hidup berkelompok dengan manusia yang lain
dalam suatu organisasi yang teratur, sistematis dan memiliki tujuan yang
jelas, seperti negara. Sebagai insan politik, manusia memiliki
nilai-nilai yang bisa dikembangkan untuk mempertahankan komunitasnya.
Argumen yang mendasari pernyataan ini adalah bahwa manusia sebagaimana
binatang, hidupnya suka mengelompok. Hanya sifat mengelompok antara
manusia dan binatang berbeda, hewan mengandalkan naluri, sedangkan
manusia berkelompok dilakukan melalui proses belajar dengan menggunakan
akal pikirannya. untuk berkomunikasi, mengungkapkan rasa dan kemampuan
untuk saling bekerjasama. Selain itu juga adanya antara lain: nilai
kesatuan, nilai solidaritas, nilai kebersamaan dan nilai berorganisasi
(Priyanto, 2002). Nilai adalah prinsip-prinsip dasar yang dianggap
paling baik, paling bermakna, paling berguna, paling menguntungkan, dan
paling dapat mendatangkan kebiasaan bagi manusia. Nilai kesatuan
mengandung makna bahwa komunitas politik merupakan kumpulan orang-orang
yang memiliki tekad untuk bersatu dan komunitas politik hanya terwujud
apabila ada persatuan. Nilai solidaritas mengandung makna bahwa hubungan
antar manusia dalam komunitas politik bersifat saling mendukung dan
selalu membuka kesempatan untuk bekerja sama dengan manusia yang lain.
Nilai kebersamaan mengandung arti komunitas politik merupakan wadah bagi
mereka untuk mewujudkan tujaun hidup yang diidam-idamkan. Nilai
organisasi mengandung makna bahwa komunitas politik yang dibangun
manusia, mengatur dirinya dalam bentuk pengorganisasi yang memungkinkan
tiap-tiap menudia mengambil perannya. Aktualisasi manusia sebagai makluk
sosial, tercermin dalam kehidupan berkelompok. Manusia selalu
berkelompok dalam hidupnya. Berkelompok dalam kehidupan manusia adalah
suatu kebutuhan, bahkan bertujuan. Tujuan manusia berkelompok adalah
untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya. Apapun bentuk
kelompoknya, disadari atau tidak, manusia berkelompok mempunyai tujuan
meningkatkan kebahagiaan hidupnya. Melalui kelompok manusia bisa
memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, bahkan bisa dikatakan
kebahagiaan dan keberdayaan hidup manusia hanya bisa dipenuhi dengan
cara berkelompok. Tanpa berkelompok tujuan hidup manusia yaitu mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan tidak akan bisa tercapai. Manusia
merupakan makluk individu dan sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai
makluk sosial manusia selalu hidup berkelompok dengan manusia yang lain.
Perilaku berkelompok (kolektif) pada diri manusia, juga dimiliki oleh
makluk hidup yang lain, seperti semut, lebah, burung bangau, rusa,
dansebagainya, tetapi terdapat perbedaan yang esensial antara perilaku
kolektif pada diri manusia dan perilaku kolektif pada binatang.
Kehidupan berkelompok (perilaku kolektif) binatang bersifat naluri,
artinya sudah pembawaan dari lahir, dengan demikian sifatnya statis yang
terbentuk sebagai bawaan dari lahir. Contoh bentuk rumah lebah, sejak
dahulu sampai sekarang tidak ada perubahan, demikian halnya dengan rumah
semut dan hewan lainnya. Sebaliknya perilaku kolektif manusia bersifat
dinamis, berkembang, dan terjadi melalui proses belajar (learning
process).
kebutuhan yang harus dipenuhi. Beberapa kebutuhan
hidup manusia yang dapat dipenuhi melalui kehidupan berkelompok antara
lain: komunikasi, keamanan, ketertiban, keadilan, kerjasama, dan untuk
mendapatkan kesejahteraan. Kehidupan berkelompok manusia tercermin dalam
berbagai bentuk, mulai dari kelompok yang terorganisir maupun
yang tidak terorganisir. Kehendak untuk hidup berkelompok pada diri manusia merupakan suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi, dan hampir tidak diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana, dan hanya tergantung kepada stimulasi timbal balik yang muncul dikalangan para pelakunya (Horton, 1993). Terhadap pernyataan ini, sering ditemukan adanya pengelompokkan manusia yang semula teratur dan tertib, tiba-tiba berubah tanpa rencana, tanpa sebab, dan tanpa arah menjadi kerumunan yang menimbulkan kekacauan sosial dan pengrusakan. Seperti kasus demonstrasi, suporter sepakbola, dan tawuran yang sering terjadi di kalangan pelajar atau masyarakat baik di Indonesia maupun di negara-negara diluar Indonesia. Perilaku berkelompok (perilaku kolektif) pada manusia karena terjadi melalui proses belajar menyebabkan munculnya beragam jenis, diantaranya: perilaku kerumunan (crowd), perilaku massa, gerakan sosial, perilaku dalam bencana, gerombolon, kericuhan (panics), desasdesus, keranjingan, gaya (fad), model (fashions), propaganda, pendapat umum, dan revolusi (Horton, 1993). Pengelompokkan manusia menjadi berbagai macam bentuk perilaku berkelompok tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Smelser (Horton, 1993), faktor determinan dari perilaku kolektif manusia
adalah:
1. kesesuaian struktural (structural conducivenes), yaitu struktur sosial masyarakat dapat menjadi faktor penunjang atau penghambat munculnya perilaku berkelompok manusia, dalam kenyataannya masyarakat tradisional yang sederhana lebih sulit melahirkan perilaku berkelompok dibandingkan dengan masyarakat modern;
2. ketegangan struktural (structural strain), yaitu pencabutan hak dan kekhawatiran akan hilangnya sesuatu sebagai penyebab timbulnya perilaku berkelompok manusia, perasaan adanya ketidakadilan mendorong banyak orang untuk melakukan tindakan ekstrim, kelas sosial bawah, kelompok minoritas tertekan, kelompok yang hasil jerih payahnya terancam, serta kelompok sosial atas yang khawatir akan kehilangan hak-hak istimewanya merupakan manusia yang secara struktural berkemungkinan melahirkan perilaku kolektif;
yang tidak terorganisir. Kehendak untuk hidup berkelompok pada diri manusia merupakan suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi, dan hampir tidak diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana, dan hanya tergantung kepada stimulasi timbal balik yang muncul dikalangan para pelakunya (Horton, 1993). Terhadap pernyataan ini, sering ditemukan adanya pengelompokkan manusia yang semula teratur dan tertib, tiba-tiba berubah tanpa rencana, tanpa sebab, dan tanpa arah menjadi kerumunan yang menimbulkan kekacauan sosial dan pengrusakan. Seperti kasus demonstrasi, suporter sepakbola, dan tawuran yang sering terjadi di kalangan pelajar atau masyarakat baik di Indonesia maupun di negara-negara diluar Indonesia. Perilaku berkelompok (perilaku kolektif) pada manusia karena terjadi melalui proses belajar menyebabkan munculnya beragam jenis, diantaranya: perilaku kerumunan (crowd), perilaku massa, gerakan sosial, perilaku dalam bencana, gerombolon, kericuhan (panics), desasdesus, keranjingan, gaya (fad), model (fashions), propaganda, pendapat umum, dan revolusi (Horton, 1993). Pengelompokkan manusia menjadi berbagai macam bentuk perilaku berkelompok tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Smelser (Horton, 1993), faktor determinan dari perilaku kolektif manusia
adalah:
1. kesesuaian struktural (structural conducivenes), yaitu struktur sosial masyarakat dapat menjadi faktor penunjang atau penghambat munculnya perilaku berkelompok manusia, dalam kenyataannya masyarakat tradisional yang sederhana lebih sulit melahirkan perilaku berkelompok dibandingkan dengan masyarakat modern;
2. ketegangan struktural (structural strain), yaitu pencabutan hak dan kekhawatiran akan hilangnya sesuatu sebagai penyebab timbulnya perilaku berkelompok manusia, perasaan adanya ketidakadilan mendorong banyak orang untuk melakukan tindakan ekstrim, kelas sosial bawah, kelompok minoritas tertekan, kelompok yang hasil jerih payahnya terancam, serta kelompok sosial atas yang khawatir akan kehilangan hak-hak istimewanya merupakan manusia yang secara struktural berkemungkinan melahirkan perilaku kolektif;
3. kemunculan dan penyebaran suatu pandangan atau
ajaran bisa menjadi pemicu munculnya perilaku kolektif manusia, hal ini
dikarenakan sebelum perilaku tersebut muncul manusia harus memiliki
pandangan yang sama mengenai sumber ancaman, jalan keluar, dan cara
pencapain jalan keluar tersebut atas permasalahan hidup yang
dihadapinya;
4. adanya faktor pemercepat (precipitating factors) yaitu perilaku, ucapan dan gerak yang menjadi pemicu munculnya perilaku kolektif, contoh: desas-desus dan isyu bisa menjadi alasan pemercepat munculnya perilaku kolektif, teriakan "polisi bangsat" "bakar" "habisi" dan sebagainya pada kelompok masyarakat yang sedang demo bisa menjadi pemercepat gerakan merusak dan melawan serta kerusuhan, seseorang yang tiba-tiba lari dalam suatu kerumunan bisa menjadi pemicu timbulnya kericuhan dan kekacauan sosial;
5. mobilitas tindakan, perilaku kolektif manusia sering dikoordinir oleh pemimpin kelompok, pemimpin atau koordinator yang memulai, menyarankan dan mengarahkan suatu kegiatan kolektif manusia; dan
4. adanya faktor pemercepat (precipitating factors) yaitu perilaku, ucapan dan gerak yang menjadi pemicu munculnya perilaku kolektif, contoh: desas-desus dan isyu bisa menjadi alasan pemercepat munculnya perilaku kolektif, teriakan "polisi bangsat" "bakar" "habisi" dan sebagainya pada kelompok masyarakat yang sedang demo bisa menjadi pemercepat gerakan merusak dan melawan serta kerusuhan, seseorang yang tiba-tiba lari dalam suatu kerumunan bisa menjadi pemicu timbulnya kericuhan dan kekacauan sosial;
5. mobilitas tindakan, perilaku kolektif manusia sering dikoordinir oleh pemimpin kelompok, pemimpin atau koordinator yang memulai, menyarankan dan mengarahkan suatu kegiatan kolektif manusia; dan
(6) kontrol sosial masyarakat, semua perilaku
kolektif manusia baik yang merusak maupun yang membangun pada dasarnya
banyak dipengaruhi oleh kinerja dari lembaga kontrol sosial masyarakat
seperti pemimpin, polisi, propaganda, kebijakan pemerintah, legislatif,
yudikatif, dan berbagai lembaga kontrol sosial lain yang ada dalam
masyarakat.
Contoh-contoh dari pernyataan di atas bisa ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering melihat berbagai peristiwa yang mengarah pada kekacauan sosial berawal dari hal-hal yang sangat sepele dan dipicu oleh sesuatu yang tidak jelas, bahkan faktor-faktor tersebut menjadi referensi oleh pihak-pihak tertentu untuk menciptakan terjadi berbagai macam kerusuhan sosial dengan tujuan tertentu pula. Oleh karena itu, kita harus mengerti, cerdas, dan faham atas hal tersebut, jangan sampai kita dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingannya sehingga kita bertindak yang anarkis, seperti pernah terjadi kasus di daerah Probolinggo, Jawa Timur beberapa tahun yang lalu, tentara yang
menyerbu penduduk hanya gara-gara salah satu dari anggota tentara tersebut kalah bersaing dalam mendapatkan seorang bunga desa. Kelompok dalam kehidupan manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga (3) besar, yaitu yang paling kecil namanya keluarga, paling besar dan paling ideal namanya negara, diantara keluarga dan negara ada berbagai macam kelompok atau organisasi, baik yang formal maupun yang tidak formal, seperti orang-orang yang bergerombol, kumpul-kumpul, berkelompok di poskamling, arisan, yayasan, Perseroan Terbatas (PT),
Contoh-contoh dari pernyataan di atas bisa ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering melihat berbagai peristiwa yang mengarah pada kekacauan sosial berawal dari hal-hal yang sangat sepele dan dipicu oleh sesuatu yang tidak jelas, bahkan faktor-faktor tersebut menjadi referensi oleh pihak-pihak tertentu untuk menciptakan terjadi berbagai macam kerusuhan sosial dengan tujuan tertentu pula. Oleh karena itu, kita harus mengerti, cerdas, dan faham atas hal tersebut, jangan sampai kita dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingannya sehingga kita bertindak yang anarkis, seperti pernah terjadi kasus di daerah Probolinggo, Jawa Timur beberapa tahun yang lalu, tentara yang
menyerbu penduduk hanya gara-gara salah satu dari anggota tentara tersebut kalah bersaing dalam mendapatkan seorang bunga desa. Kelompok dalam kehidupan manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga (3) besar, yaitu yang paling kecil namanya keluarga, paling besar dan paling ideal namanya negara, diantara keluarga dan negara ada berbagai macam kelompok atau organisasi, baik yang formal maupun yang tidak formal, seperti orang-orang yang bergerombol, kumpul-kumpul, berkelompok di poskamling, arisan, yayasan, Perseroan Terbatas (PT),
organisasi massa (ormas), Nahdatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, partai politik (parpol), remaja masjid (remas), Organisasi
Siswa Intra Sekolah (OSIS), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI), dan sebagainya. Aktualisasi manusia
sebagai zoon politicon tercermin dalam kehidupan bernegara. Negara dalam
pemikiran Aristoteles merupakan suatu persekutuan hidup politik (Rapar,
2001). Hal ini mengandung makna: (1) sebagai persekutuan hidup politik,
negara bukan hanya sebagai instrumen, atau bukan hanya sebagai
organisasi yang teratur, melainkan suatu persekutuan hidup yang
menunjukkan adanya suatu hubungan yang bersifat organik, saling
berhubungan antar warga negara; (2) sebagai persekutuan hidup,
menunjukkan adanya suatu hubungan antar manusia yang khusus, erat,
akrab, mesra dan lestari di antara warga negara; (3) selaras dengan
konsep negara sebagai persekutuan hidup politik, Plato menegaskan bahwa
negara merupakan keluarga. Apabila warga negara dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan makna serta tuntutan hakekat negara sebagai
satu keluarga, maka kesatuan dan keutuhan hidup bernegara akan tercipta
dan terpelihara dengan baik; dan (4) negara sebagai persekutuan hidup
berbentuk polis. Negara merupakan bentuk persekutuan hidup atau
pengelompokkan manusia yang paling tinggi, memiliki tujuan yang paling
tinggi, paling jelas, paling mulia dan paling luhur bila dibandingkan
dengan tujuan yang dimiliki oleh persekutuan hidup lainnya. Negara
bahkan secara sistimatis dan berkesinambungan selalu berupaya untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia yang menjadi
warga negaranya. Hal ini tercermin dalam setiap program kerja dan
aktifitas yang dilakukan negara, atau biasa dikenal dengan sebutan
pembangunan. Keberadaan dan terbentuknya negara bukan untuk negara itu
sendiri. Tujuan akhir negara bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk
manusia yang menjadi warga negaranya. Oleh sebab itu, kendati negara
merupakan persekutuan hidup yang berada di jenjang paling atas dan
karena itu berdaulat, namun gagasan negara ideal bukanlah negara
absolut, kekuasaan negara tidak bersifat mutlak, negara adalah untuk
manusia dan kesejahteraan hidup manusia. Negara adalah suatu bentuk
persekutuan hidup yang paling tinggi, karena memiliki tujuan yang paling
tinggi, yaitu kebaikan yang tertinggi bagi manusia. Hal ini berarti
negara harus senantiasa mengupayakan serta menjamin adanya kebaikan yang
seoptimal mungkin bagi warga negaranya, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Biasanya tujuan negara itu tercantum dengan tegas dalam
konstitusi negara. Di dalam negara, manusia yang menjadi warga negaranya
harus dapat menikmati kehidupan yang aman dan tenteram. Oleh karena
itu,
negara harus dapat melindungi warga negaranya dari
berbagai serangan dari luar, juga harus dapat melindungi warga negaranya
dari berbagai gangguan yang berasal dari dalam negara seperti
ketidakteraturan dan ketidaktertiban. Negara harus mengupayakan dan
menjamin sebesar-besarnya kesejahteraan bersama warga negaranya, karena
hanya di dalam kesejahteraan bersama itulah, kesejahteraan individual
dapat diperoleh. Negara ideal adalah negara yang memanusiakan manusia.
Manusia hanya menjadi manusia apabila ia hidup di dalam negara
(berkelompok), karena di luar negara hanya ada makhluk hidup di bawah
manusia atau yang di atas manusia. Oleh karena itu, negara ada dan
terbentuk bukan sekedar agar manusia hidup di dalamnya, tetapi agar
manusia itu benar-benar memanusia di dalam negara dan lewat hidup
bernegara. Di dalam dan lewat hidup bernegara, manusia dimampukan untuk
mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang semaksimal mungkin.
Hal ini berarti bahwa di dalam negara, manusia seharusnya dapat mencapai
tingkat kebajikan yang tertinggi. Keberhasilan manusia untuk mencapai
tingkat kebajikan yang tertinggi haruslah lewat moralitas yang terpuji,
karena hanya dengan moralitas yang demikian itulah yang membedakan
manusia dari makhluk hidup yang lainnya. Negara yang memanusiakan
manusia, berarti negara ada dan terbentuk agar manusia dapat mencapai
kesempurnaan, yaitu kehidupan dalam tingkat kebajikan yang paling tinggi
yang sesuai dengan kodratnya. Melalui negara dimaksudkan agar setiap
warganya dapat meraih kesejahteraan material, spiritual dan intelektual,
sebagai perwujudan dari
terwujudnya manusia seutuhnya.
terwujudnya manusia seutuhnya.
0 comments:
Post a Comment